24 April 2011

2,5 JAM BERSAMA GURU KEHIDUPAN Bag. 2


Selesai pekerjaan dirumah ‘orang penting’, beliau berharap pekerjaan pada majikannya itu. Siapa tahu ada pekerjaan di instansi pemerintahan yang cocok untuknya. Namun sayang sang Majikan tidak memiliki apa yang diharap si Bapak. Maka karena simpatinya pada si Bapak, majikan tsb memberi uang padanya setiap hari sebesar Rp. 900 untuk mencari kerja. Jadi beliau dipersilakan mencari pekerjaan sendiri namun justru dibayar. Saking simpatinya getoo.. :D

Sampai pada akhirnya ketua RW tempat beliau tinggal mengatakan bahwa ada sebuah perusahaan Jepang sedang mencari tenaga operator produksi. Masuklah si Bapak dengan pengalamannya bekerja selama 6 bulan di Semarang setelah lulus STM. Pendek kata beliau diterima dan bekerja di perusahaan itu sampai 20 tahun! Pekerjaannya selalu sempurna dan jarang sekali tidak masuk kerja. Salah satu teman kerjanya sesama operator produksi bahkan sampai diangkat menjadi direktur karena totalitas dan kemampuan bekerja yang baik, tapi itu temannya, lain cerita dengan si Bapak, beliau tetap menjadi operator produksi sampai akhir masa kerjanya walaupun kemampuanyya tak jauh beda. Seorang operator produksi yang disayang seluruh jajaran direksi karena totalitasnya dalam bekerja.

Meski anak kedua, beliau menjadi anak keempat yang menikah di keluarga besar itu. Itupun setelah melewati ‘perjalanan’ panjang penemuan calon istri :p. Calon istri pertama yang diperkenalkan si Bapak kepada keluarganya adalah seorang sarjana Sastra Inggris dari Jakarta, jelas kedua orang tua beliau kurang setuju karena takut nantinya tidak bisa membahagiakan sang istri yang pasti sudah terbiasa hidup serba berkecukupan. Kejadian serupa terulang sampai 4 kali dan akhirnya si Bapak ‘menyerah’. Beliau menyerahkan pemilihan calon istri itu kepada orang tua. Dan benar, sang Ibu hadir dengan satu pilihan, seorang gadis desa yang sedang bekerja di Jakarta, anak dari dua orang yang dulunya juga di ‘comblangi’ oleh sang Ibu. Maka akhirnya dengan gadis itulah si Bapak menikah. Melupakan 4 gadis ‘pilihannya’ dan lebih memilih gadis yang dipilihkan orang tua. Mereka kemudian tinggal di Jakarta, si Bapak tetap bekerja di perusahaan Jepang.

Sampai akhirnya krisis moneter (1998) melanda dan banyak perusahaan terancam kolaps termasuk perusahaan tempat si Bapak bekerja. Saat itu pula orang tua beliau memintanya untuk pulang kampung dan justru terjun ke dunia politik dengan menjadi wakil rakyat. Bagaimana bisa? Ya, orang tua beliau ternyata adalah orang yang (mungkin) cukup dikenal di masyarakat dan memiliki kharisma tinggi. Dengan perasaan campur aduk antara bingung bagaimana harus mengawali karier di dunia politik dan rasa berat meninggalkan perusahaan yang sudah 20 tahun menjadi tempatnya bekerja, beliau akhirnya memutuskan untuk pulang, sekali lagi menuruti titah kedua orang tua. Direktur perusahaan (yang di awal kariernya adalah teman sesama operator produksi) sebenarnya sangat keberatan atas keputusan itu, namun karena tekad si Bapak sudah bulat, pimpinan perusahaan tsb akhirnya mengijinkan karyawan yang luar biasa itu mengundurkan diri.

Beberapa hari sebelum pemilihan umum berlangsung, ternyata seluruh jajaran direksi, manajer dan supervisor perusahaan tempat si Bapak bekerja datang kerumah dan memberikan dukungan atas langkah besar yang akan diambilnya: terjun ke dunia politik!

Dengan ijin Allah, akhirnya beliau terpilih menjadi wakil rakyat. Mengalahkan 5 rival yang sama-sama menginginkan posisi itu. Sekarang, beliau ditempatkan di Badan Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Boyolali dan mengurus Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) di Boyolali. “Pekerjaan saya adalah berada diantara orang-orang miskin dan mencoba membantu mereka” ungkap beliau.

Sangat sering diutarakan beliau di sela ceritanya bahwa beliau bekerja bukan semata mencari uang, beliau menikmati setiap pekerjaan sebagai sebuah hal yang akan mendatangkan kebahagiaan dan manfaat bagi orang lain. Tak apalah beliau harus berganti-ganti dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain asal adik-adik beliau bisa sekolah. Tak apalah beliau melupakan gengsi dan semua gelar asal apa yang dikerjakannya halal dan bisa membantu orang lain. “Percayalah, Allah akan menggetarkan bumi dengan skenario-Nya yang luar biasa untuk orang-orang yang bekerja dengan ikhlas dan hanya mengharap ridho-Nya..” sambung beliau.

Masih ada beberapa cerita dan pelajaran yang dituturkan beliau, termasuk beberapa saran berharga untukku ttg masa depan dan pekerjaan namun kisah perjalanan karier beliau mulai dari nol sampai sekarang menjadi ‘orang penting’ di Boyolali sepertinya bisa mewakili semuanya. Semua cerita tsb disampaikan beliau saat perjalanan dari Bulakkapal (Bekasi) sampai Sukra (Indramayu) di tempat pemberhentian bis yang pertama, dalam waktu kurang lebih 2,5 jam..

*Catatan: Beliau akhirnya meneruskan studi dengan kuliah di Fakultas Hukum pada salah satu universitas di Solo. Beliau memiliki 5 orang anak dan akan menikahkan anak pertamanya pada tanggal 7 Mei mendatang. Sayang saya belum sempat meminta kontak beliau sepanjang perjalanan, tapi insyaAllah saya akan ‘mencari’ beliau dgn bekal internet dan kenalan salah seorang pejabat di Pemkab Boyolali.. saya ingin beliau membaca tulisan ini, dan tentu saya ingin belajar lebih banyak hal pada beliau.. Semoga Allah mempertemukan kita lagi, Bapak!

Ngawi, 24 April 2011

2,5 JAM BERSAMA GURU KEHIDUPAN (Catatan Perjalanan Bekasi-Ngawi, 23-24 April 2011)



Di tiket bus Rosalia Indah-ku tertera jam keberangkatan pukul 16.30 dari Bulakkapal-Bekasi, karena semua pekerjaanku sudah selesai (termasuk maksi dan blanja blanji :p), jam 15.30 aku sudah nongkrong di pool (sebutan untuk agen bus) di depan kantor Depsos itu. Kudapati semua bangku di ruang tunggu penuh, maka akhirnya aku nunggu bis di Mushola, sembari men-charge HPku.

Menunggu, menunggu, menunggu… jam 16.15 aku ke loket, menanyakan apakah bus akan segera datang/belum. Ternyata belum, dan tidak ada info apa-apa! Hufh, nunggu lagi dueh! Karena beberapa orang sudah naik bis yang sebelumnya datang, maka sudah banyak bangku kosong di ruang tunggu sehingga aku bisa mengambil tempat disana. Tak jauh-jauh dari tempatku sebelumnya, aku duduk di depan Mushola. Sembari melihat sekeliling, mengira-ngira siapa yang akan duduk sebangku denganku di bus Super Executive Class (ehem!) itu. Sudah menjadi pahamku, orang-orang yang naik bis kelas ini pasti bukan orang-orang sembarangan. Kebanyakan OKB alias Orang Kaya Banget (:p) atau OTK alias Orang Terlanjur Kaya macam bang Madit Musyawaroh :D. Aku? Ah, naik bis ini karena kebetulan yang tersisa tinggal kelas itu saja, nggak ada pilihan lain! Daripada nggak bisa pulang?!

Ada seorang Bapak pakai kacamata tebel, khas orang pinter, baca Jurnal Pertamina. Wuih.. pejabat Pertamina kayaknya. Lalu ada rombongan keluarga kecil bahagia, Ibu-bapak dan dua anak kembar bernama Fathur dan Fathir (karena di kaosnya tertera tulisan itu), ada pula keluarga lain dengan satu anak kecil sekitar 4 tahun-an (belakangan kutahu kedua keluarga itu nggak naik bis, hanya mengantar keluarga mereka! :D). Yang lain seperti biasanya penumpang bis kelas ini, lelaki paruh baya dengan Hape touch screen yang tak pernah lepas dari genggaman, ibu-ibu berdandan menor dengan barang-barang ber-merk dan gadis-gadis bohay dengan tampang super cantik+seksi. Mantaps!

Siapa ya teman sebangkuku? Ah, siapapun dia aku tak begitu berminat untuk ngobrol banyak kala itu, karena amat sangat lelah sekali banget!, nggak tahu kenapa leherku sakiiit banget mungkin salah posisi tidur di bis malam sebelumnya :(

Bis akhirnya datang jam 17.30, molor 1 jam dari jadwal semula. Dari pengemudi bis akhirnya aku tahu bis telat karena di Jakarta sempat terjebak kemacetan akibat Justin Bieber (entah penontonnya atau rombongan si JB sendiri). Aku dapat tempat duduk nomor 2B, artinya sebangku dengan pemilik tiket 2C, berbeda kalau saja aku dapat tiket 2A karena tempat duduknya diatur dgn sistem 2-1 alias 2 tempat duduk di kanan dan hanya satu tempat duduk di kiri.

GURU KEHIDUPAN

Beberapa saat setelah aku duduk, seorang bapak (kutaksir berumur 45-an) menghampiri tempat dudukku dan mengucap permisi. Olala.. beliaulah teman sebangkuku! Wajahnya sangat kebapakan, penampilannya rapi, tampak nyentrik dengan celana jins biru dan kaos lengan panjang bergaris.

Seperti biasa, percakapan ‘basa-basi’ seputar turun mana dan darimana mengawali obrolan kami. Di tanganku masih ada novel Lukisan Bidadari (Pipiet Senja) yang hendak kubaca, namun si Bapak sepertinya ingin bercerita banyak. Mulailah beliau bercerita tentang ‘kegemaran’nya travelling kemana-mana. Wah.. seru nih! Seketika aku langsung tertarik mendengar cerita demi ceritanya. Kututup bukuku (karena hari juga semakin gelap) dan memasukkannya ke dalam ransel, mengalihkan perhatian sepenuhnya pada si Bapak yang makin lama makin seru ceritanya, lebih seru ketika beliau menceritakan kisah kehidupannya. Tak berlebihan jika di akhir aku menyebutnya ‘Guru Kehidupan’. Begini ceritanya..

Lahir sebagai anak kedua dari sepuluh bersaudara, si Bapak berhasil menamatkan sekolah hingga STM (SMK). Kakak beliau perempuan dan sudah berkeluarga sehingga orang tua memberinya tanggung jawab untuk membantu menyekolahkan adik-adik yang jumlahnya 8. Hal inilah yang kemudian diceritakannya sebagai ‘motivasi’ untuk bekerja keras; karena kepercayaan orang tua!

Pertama, beliau bekerja pada sebuah pabrik di Semarang-Jawa Tengah, pekerjaannya mengelas dan memotong besi. Sesuai dengan keahlian yang dipelajarinya di STM. Namun gaji yang diterimanya dirasa kurang memadai dan pekerjaan tsb terasa terlalu berat. Setelah 6 bulan berlalu, beliau memutuskan untuk keluar dan mencari pekerjaan lain.

Pekerjaan selanjutnya yang akhirnya dilakoni si Bapak adalah sebagai Kernet bis umum jurusan Solo-Kediri. Oya, beliau tinggal di Boyolali-Jawa Tengah. Gajinya kala itu Rp. 2.500 per bulan, di tahun 70’an, uang itu adalah jumlah yang lumayan. Dan posisinya sebagai Kernet tidak bertahan lama karena akhirnya beliau menjadi Kondektur. Naik pangkat ceritanya.. :D

Orang tua beliau yang tahu bahwa anaknya bekerja sebagai Kondektur bis (awalnya pekerjaan ini dilakukan secara diam-diam) tidak setuju dan menganggap pekerjaan tsb tidak cocok utk lulusan STM sepertinya. Maka di daftarkanlah beliau oleh Ayahnya ke Dinas Penghasilan kota Surakarta. Walau tidak begitu suka bekerja sebagai tenaga honorer, karena itu adalah titah orang tua, si Bapak akhirnya menerima pekerjaan itu. Meski kembali tidak bertahan lama.

Hengkang dari Dinas Penghasilan, beliau ke Jakarta (mengikuti kakaknya) dan berniat bekerja apapun asal tidak menggantungkan diri pada sang kakak. Mulailah beliau menjadi loper Koran di siang hari dan membantu penjual sate di malam hari dengan upah makan gratis. Semua dilakukan dengan ikhlas dan sebagian besar hasil kerjanya sebagai loper Koran tentu di tabung utk membantu biaya pendidikan adik-adik beliau.

Kesempatan lain datang, beliau diajak seseorang untuk bekerja sebagai kuli bangunan. Dengan modal kemampuan mencangkul tanah di kampungnya, beliau menjadi kuli aduk semen selama 9 bulan di rumah salah satu orang penting di masa pemerintahan sekitar tahun 1970-an. Kalau tidak salah dirumah Sekertaris Negara kala itu (aku agak lupa jabatannya, pokoknya orang penting). Karena keuletan beliau, si majikan menaruh simpati. Diberikannya uang ekstra untuk beliau naik becak pulang karena setiap hari selalu berjalan kaki dan gaji beliau selama 9 bulan tsb juga tidak pernah diambil (walau uang ‘transport’ itu akhirnya tidak juga digunakan untuk naik becak tp lebih memilih untuk ditabung). Gaji tersebut baru diambilnya ketika pekerjaan benar-benar selesai (di bulan ke-9) dan kesemuanya dikirimkan ke kampung untuk biaya sekolah adik-adiknya! Salah seorang adiknya bahkan telah menamatkan kuliah di Fakultas Sospol sebuah universitas di Solo dan berhasil menjadi seorang camat! Sementara beliau masih setia dengan kehidupan keras di Jakarta.

*Tarik nafas... siapkan diri baca bagian 2 yaa.. :D