24 April 2011

2,5 JAM BERSAMA GURU KEHIDUPAN (Catatan Perjalanan Bekasi-Ngawi, 23-24 April 2011)



Di tiket bus Rosalia Indah-ku tertera jam keberangkatan pukul 16.30 dari Bulakkapal-Bekasi, karena semua pekerjaanku sudah selesai (termasuk maksi dan blanja blanji :p), jam 15.30 aku sudah nongkrong di pool (sebutan untuk agen bus) di depan kantor Depsos itu. Kudapati semua bangku di ruang tunggu penuh, maka akhirnya aku nunggu bis di Mushola, sembari men-charge HPku.

Menunggu, menunggu, menunggu… jam 16.15 aku ke loket, menanyakan apakah bus akan segera datang/belum. Ternyata belum, dan tidak ada info apa-apa! Hufh, nunggu lagi dueh! Karena beberapa orang sudah naik bis yang sebelumnya datang, maka sudah banyak bangku kosong di ruang tunggu sehingga aku bisa mengambil tempat disana. Tak jauh-jauh dari tempatku sebelumnya, aku duduk di depan Mushola. Sembari melihat sekeliling, mengira-ngira siapa yang akan duduk sebangku denganku di bus Super Executive Class (ehem!) itu. Sudah menjadi pahamku, orang-orang yang naik bis kelas ini pasti bukan orang-orang sembarangan. Kebanyakan OKB alias Orang Kaya Banget (:p) atau OTK alias Orang Terlanjur Kaya macam bang Madit Musyawaroh :D. Aku? Ah, naik bis ini karena kebetulan yang tersisa tinggal kelas itu saja, nggak ada pilihan lain! Daripada nggak bisa pulang?!

Ada seorang Bapak pakai kacamata tebel, khas orang pinter, baca Jurnal Pertamina. Wuih.. pejabat Pertamina kayaknya. Lalu ada rombongan keluarga kecil bahagia, Ibu-bapak dan dua anak kembar bernama Fathur dan Fathir (karena di kaosnya tertera tulisan itu), ada pula keluarga lain dengan satu anak kecil sekitar 4 tahun-an (belakangan kutahu kedua keluarga itu nggak naik bis, hanya mengantar keluarga mereka! :D). Yang lain seperti biasanya penumpang bis kelas ini, lelaki paruh baya dengan Hape touch screen yang tak pernah lepas dari genggaman, ibu-ibu berdandan menor dengan barang-barang ber-merk dan gadis-gadis bohay dengan tampang super cantik+seksi. Mantaps!

Siapa ya teman sebangkuku? Ah, siapapun dia aku tak begitu berminat untuk ngobrol banyak kala itu, karena amat sangat lelah sekali banget!, nggak tahu kenapa leherku sakiiit banget mungkin salah posisi tidur di bis malam sebelumnya :(

Bis akhirnya datang jam 17.30, molor 1 jam dari jadwal semula. Dari pengemudi bis akhirnya aku tahu bis telat karena di Jakarta sempat terjebak kemacetan akibat Justin Bieber (entah penontonnya atau rombongan si JB sendiri). Aku dapat tempat duduk nomor 2B, artinya sebangku dengan pemilik tiket 2C, berbeda kalau saja aku dapat tiket 2A karena tempat duduknya diatur dgn sistem 2-1 alias 2 tempat duduk di kanan dan hanya satu tempat duduk di kiri.

GURU KEHIDUPAN

Beberapa saat setelah aku duduk, seorang bapak (kutaksir berumur 45-an) menghampiri tempat dudukku dan mengucap permisi. Olala.. beliaulah teman sebangkuku! Wajahnya sangat kebapakan, penampilannya rapi, tampak nyentrik dengan celana jins biru dan kaos lengan panjang bergaris.

Seperti biasa, percakapan ‘basa-basi’ seputar turun mana dan darimana mengawali obrolan kami. Di tanganku masih ada novel Lukisan Bidadari (Pipiet Senja) yang hendak kubaca, namun si Bapak sepertinya ingin bercerita banyak. Mulailah beliau bercerita tentang ‘kegemaran’nya travelling kemana-mana. Wah.. seru nih! Seketika aku langsung tertarik mendengar cerita demi ceritanya. Kututup bukuku (karena hari juga semakin gelap) dan memasukkannya ke dalam ransel, mengalihkan perhatian sepenuhnya pada si Bapak yang makin lama makin seru ceritanya, lebih seru ketika beliau menceritakan kisah kehidupannya. Tak berlebihan jika di akhir aku menyebutnya ‘Guru Kehidupan’. Begini ceritanya..

Lahir sebagai anak kedua dari sepuluh bersaudara, si Bapak berhasil menamatkan sekolah hingga STM (SMK). Kakak beliau perempuan dan sudah berkeluarga sehingga orang tua memberinya tanggung jawab untuk membantu menyekolahkan adik-adik yang jumlahnya 8. Hal inilah yang kemudian diceritakannya sebagai ‘motivasi’ untuk bekerja keras; karena kepercayaan orang tua!

Pertama, beliau bekerja pada sebuah pabrik di Semarang-Jawa Tengah, pekerjaannya mengelas dan memotong besi. Sesuai dengan keahlian yang dipelajarinya di STM. Namun gaji yang diterimanya dirasa kurang memadai dan pekerjaan tsb terasa terlalu berat. Setelah 6 bulan berlalu, beliau memutuskan untuk keluar dan mencari pekerjaan lain.

Pekerjaan selanjutnya yang akhirnya dilakoni si Bapak adalah sebagai Kernet bis umum jurusan Solo-Kediri. Oya, beliau tinggal di Boyolali-Jawa Tengah. Gajinya kala itu Rp. 2.500 per bulan, di tahun 70’an, uang itu adalah jumlah yang lumayan. Dan posisinya sebagai Kernet tidak bertahan lama karena akhirnya beliau menjadi Kondektur. Naik pangkat ceritanya.. :D

Orang tua beliau yang tahu bahwa anaknya bekerja sebagai Kondektur bis (awalnya pekerjaan ini dilakukan secara diam-diam) tidak setuju dan menganggap pekerjaan tsb tidak cocok utk lulusan STM sepertinya. Maka di daftarkanlah beliau oleh Ayahnya ke Dinas Penghasilan kota Surakarta. Walau tidak begitu suka bekerja sebagai tenaga honorer, karena itu adalah titah orang tua, si Bapak akhirnya menerima pekerjaan itu. Meski kembali tidak bertahan lama.

Hengkang dari Dinas Penghasilan, beliau ke Jakarta (mengikuti kakaknya) dan berniat bekerja apapun asal tidak menggantungkan diri pada sang kakak. Mulailah beliau menjadi loper Koran di siang hari dan membantu penjual sate di malam hari dengan upah makan gratis. Semua dilakukan dengan ikhlas dan sebagian besar hasil kerjanya sebagai loper Koran tentu di tabung utk membantu biaya pendidikan adik-adik beliau.

Kesempatan lain datang, beliau diajak seseorang untuk bekerja sebagai kuli bangunan. Dengan modal kemampuan mencangkul tanah di kampungnya, beliau menjadi kuli aduk semen selama 9 bulan di rumah salah satu orang penting di masa pemerintahan sekitar tahun 1970-an. Kalau tidak salah dirumah Sekertaris Negara kala itu (aku agak lupa jabatannya, pokoknya orang penting). Karena keuletan beliau, si majikan menaruh simpati. Diberikannya uang ekstra untuk beliau naik becak pulang karena setiap hari selalu berjalan kaki dan gaji beliau selama 9 bulan tsb juga tidak pernah diambil (walau uang ‘transport’ itu akhirnya tidak juga digunakan untuk naik becak tp lebih memilih untuk ditabung). Gaji tersebut baru diambilnya ketika pekerjaan benar-benar selesai (di bulan ke-9) dan kesemuanya dikirimkan ke kampung untuk biaya sekolah adik-adiknya! Salah seorang adiknya bahkan telah menamatkan kuliah di Fakultas Sospol sebuah universitas di Solo dan berhasil menjadi seorang camat! Sementara beliau masih setia dengan kehidupan keras di Jakarta.

*Tarik nafas... siapkan diri baca bagian 2 yaa.. :D

1 komentar:

Have something on mind? Just write it below.. :)