13 Januari 2011

Diary Calon Guru


Maka ke tempat itulah akhirnya takdir membawa saya.
Ke sebuah tempat dengan lantai abu-abu dan kursi berkarat,
tempat yang sangat panas ketika siang dan bocor di beberapa sudut ketika hujan,
tempat yang setiap ruang disekat dengan triplek tipis,
tempat yang koleksi buku-bukunya sangat antik,
sebuah tempat bernama Kampus! waw, hebat!

ya. Minimal itu lebih hebat daripada tempat berbagai merk televisi, komputer, telepon dan faksimile itu dibuat. Tempat yang dulu pernah saya jadikan mimpi besar saya; pabrik.

Kalau saja saya boleh memilih, tentu saya akan memilih kampus dengan fasilitas lebih memadai dan kualitas jauh lebih baik dari kampus saya sekarang. Tapi kembali ke apa yang saya sebut 'takdir' tadi. saya, mau tidak mau, memang harus belajar di tempat itu. Atau jika tidak saya akan menjadi kuli pabrik di Batam atau Malaysia. pilih mana? pilih kampus, lah!

Kadang ingin juga mendapat sesuatu yang lebih. Bahkan kadang saya berpikir kampus tempat saya belajar ini terlalu 'santai' menanggapi kemajuan jaman. Bukan melebih-lebihkan, lihatlah faktanya. Kampus antik ini masih setia dengan buku-buku jaman dulu (yang beberapa isinya sudah out of date), beberapa jam kuliah sering sekali ditinggalkan dengan santai oleh dosen dan mahasiswanya (termasuk saya), fasilitas yang.... Ah, gitu lah! malu mengatakannya.

Lalu apa yang bisa didapat dari tempat macam itu?!
Satu-satunya penghibur adalah bahwa beberapa (sayangnya tidak semua) staf pengajarnya mumpuni, profesional, penuh semangat dan memiliki apa yang saya butuhkan. Setidaknya saya bisa memanfaatkan mereka. Meski ada juga yang menyandang gelar 'dosen' namun nyatanya tak pernah sekalipun menemui kami yang disemati sebutan luar biasa, mahasiswa. Apa yang bisa diharapkan dari dosen macam itu?

Namun saya tahu semua pendapat diatas sebenarnya adalah salah. salah besar!
Kenapa? karena itu semua tidak akan pernah berpengaruh pada kesuksesan saya di masa yang akan datang. Sayalah satu-satunya penentu masa depan itu sendiri. Bukan kampus, fasilitas apalagi dosen saya. Adalah orang yang (maaf) pengecut yang menyebut kegagalannya adalah akibat tindakan atau pengaruh orang lain. Ini hidup siapa?
tak adil rasanya menyalahkan orang lain untuk kesalahan (dan kegagalan) yang kita buat sendiri.

otomatis, ketika saya memutuskan untuk belajar di tempat ini, saya ingin menjadi guru. Aih, mulia sekali ya?!
Seperti pertanyaan yang terlontar dari hampir semua teman-teman saya, bisakah setelah lulus nanti saya menjadi guru?
kalau sekedar menjadi guru pasti bisa, tapi guru macam apa? guru yang hanya datang ke sekolah untuk menyuruh muridnya mencatat? guru yang bekerja hanya untuk uang? guru yang hanya berharap jadi PNS tanpa pernah berharap bisa menjadikan generasi muda Indonesia menjadi lebih baik? atau guru yang 'asal-masuk-kelas'?

Tidak!
saya tidak mau jadi guru macam begitu. Saya ingin nantinya saya menjadi guru yang bisa berbagi ilmu dengan baik, dengan kemampuan yang baik pula.

Maka ketika takdir membawa saya menjadi calon guru dari tempat seperti kampus saya ini, saya masih bersyukur. setidaknya disini masih banyak ladang untuk menjadi 'pioneer', setidaknya saya bisa menjadi pelopor untuk hal-hal yang sebenarnya sudah biasa namun disini masih luar biasa, setidaknya, setidaknya...

saya bersyukur saya bisa kuliah. Masa depan saya akan saya desain dengan kedua tangan saya sendiri. Saksikanlah bahwa tempat, fasilitas dan orang-orang disekitar sama sekali tidak akan mempengaruhi masa depan saya. Saya lah yang punya hak penuh untuk itu (dan itu akan saya gunakan).

Mungkin terkesan terlalu bersemangat, terlalu berlebihan, tapi apa salahnya?
Mengapa harus mengeluh ketika kita masih punya otak untuk berpikir, dua tangan untuk meraih dan dua kaki untuk melangkah?

Saya, satu dari berjuta orang dengan mimpi besarnya, sangat bersyukur atas apa-apa yang saya dapatkan sekarang...
semoga Allah memberi cukup ruang bagi mimpi-mimpi itu untuk menjadi nyata..:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Have something on mind? Just write it below.. :)